7 Hal yang Orang Islam Harus Tahu Tentang Niat
Patratour.com, Niat merupakan elemen penting di dalam setiap tindakan seorang muslim. Dengan niat seseorang bisa mendapatkan pahala atau malahan mendapat dosa. Oleh karena itu perlu bagi kita untuk mengeatahui persoalan-persoalan penting apa saja yang berkaitan dengan niat.
Para Ulama telah merinci perkara niat paling tidak ke dalam tujuh persoalan, yaitu sebagai berikut:
1. Hakikat niat:
Apakah yang dimaksud dengan niat dalam ilmu fiqh? Apakah sama antara niat dengan kehendak? Dalam kehidupan sehari-hari kita terbiasa mengungkapkan makna kehendak dengan kata niat. Contohnya saja ketika kita mengungkapkan, “mudah-mudahan niat baik anda terwujud,” yakni yang dimaksud dengan niat adalah kehendak.
Namun, ternyata bukan ini yang dimaksud niat oleh para Ulama. Dalam ilmu fiqh, niat memiliki pengertian khusus yang berbeda dengan kehendak ataupun keinginan.
Dalam kitab Al-Iqna’, Al-Khatib As-Syirbini mengatakan,
وَحَقِيْقَتُهَا لُغَةً الْقَصْدُ وَشَرْعًا قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
Artinya, “Hakikat niat, secara bahasa artinya menyengaja, sedangkan secara istilah syar’i artinya menyengaja sesuatu bertepatan dengan perbuatannya.”
Niat dalam pengertian syar’i, haruslah bersamaan antara menghadirkan kesengajaan di dalam hati dengan dimulainya perbuatan tersebut. Karena bila tidak berbarengan, maka tidak dinamakan niat oleh para Fuqaha.
Semisal seseorang yang sejak di rumah telah bertekad dan berniat untuk melaksanakan shalat di masjid, namun setibanya di sana, ketika mulai takbiratul ihram ia tidak menghadirkan niat shalat, maka niatan seperti ini tidak dinamakan niat di dalam ilmu fiqh, karena antara niat dan perbuatan tidak terjadi secara berbarengan, contoh di atas yakni niat lebih dahulu hadir ketimbang perbuatan dinamakan dengan azam.
2. Fungsi niat:
Fungsi niat berbeda-beda sesuai tergantung disiplin ilmu yang di bahas. Dalam ilmu fiqh, niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah dan yang bukan ibadah, serta membedakan antara tingkatan ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Dalam kitab Al-Iqna’ disebutkan,
تَمْيِيْزُ الْعِبَادَاتِ عَنِ الْعَادَاتِ كَالْجُلُوْسِ فِي الْمَسْجِدِ لِلْاِعْتِكَافِ تَارَةً وَلِلْاِسْتِرَاحَةِ أُخْرَى أَو تَمْيِيْزُ رُتْبَتِهَا كَالصَّلَاةِ تَكُوْنُ لِلْفَرْضِ تَارَةً وَلِلْنَفْلِ أُخْرَى
Artinya, “Membedakan ibadah dari adat kebiasaan, seperti duduk-duduk di masjid, terkadang niatnya untuk I’tikaf terkadang untuk istirahat. Atau untuk membedakan tingkatan ibadah, seperti shalat, terkadang niatnya untuk shalat fardhu terkadang untuk shalat sunnah.”
Sedangkan niat bila difungsikan sebagai pembeda antara perbuatan yang ikhlas karena Allah dengan yang tidak, maka bukan menjadi pembahsan ilmu fiqh, melainkan di bahas dalam ilmu tasawwuf atau tazkiyatun nafs.
3. Hukum niat:
Secara umum dalam berbagai amalan, hukum niat adalah wajib.
Sebagaimana sabda Nabi
ﷺ, إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yakni, seluruh ibadah yang nampak seperti adat kebiasaan, semisal mandi, I’tikaf, puasa, begitu juga ibadah yang serupa dengan ibadah lainnya, seperti shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah gerakannya serupa, maka kedua jenis ibadah ini wajib disertai dengan niat.
Selain ibadah, ungkapan-ungkapan kinayah (tidak secara eksplisit) yang digunakan dalam bermuamalah, seperti ungkapan seseorang yang mentalak istrinya “pulanglah ke rumah orangtuamu!”, ungkapan seperti ini bila disertai dengan niat talak maka jatuh talak, namun bila tidak disertai niat maka tidak jatuh talak.
Dalam madzhab Syafi’i, ada beberapa amalan yang tidak wajib disertai dengan niat, yaitu:
1. Dalam hal menjauhi atau meninggalkan larangan agama. Seperti menjauhi zina, mabuk-mabukan, menggunjing, menfitnah, mencuri, maka tidak dibutuhkan niat ketika meninggalkannya atau menjauhinya. Sekedar tidak terjatuh dalam dosa-dosa tadi walau tidak disertai niat, maka tidak menimbulkan dosa, hanya saja tidak bernilai pahala. Dibutuhkan niat agar perilaku menjauhi maksiat bernilai pahala, yaitu niat mentaati perintah dan larangan agama.
Sesuai dengan kaidah fiqh yang mengatakan,
لَا ثَوَابَ إِلَّا بِنِيَّةٍ
artinya, “Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
Yakni, amal perbuatan hanya bernilai pahala bila disertai dengan niat.
2. Ketika memandikan jenazah. Memandikan jenazah kaum muslimin hukumnya adalah fardhu kifayah. Namun, bagi orang yang memandikan jenazah, tidak diwajibkan berniat memandikan jenazah agar menggugurkan kewajiban tersebut. Karena, tujuan memandikan jenazah adalah untuk kebersihan semata, bukan untuk mengangkat hadats. Namun, dalam rangka keluar dari khilaf antara pendapat yang tidak mewajibkannya dan yang mewajibkannya, disunnahkan untuk tetap berniat, karena keluar dari khilaf hukumnya sunnah.
3. Wajibnya membayar dam karena haji tamattu’. Orang yang melakukan umrah di bulan haram, kemudian melakukan haji di tahun yang sama, walaupun sebelumnya ketika umrah tidak pernah terbesit dalam niatan untuk melaksanakan haji, maka sudah terhitung tamattu, walaupun sebelumnya tidak berniat haji tamattu’, wajib hukumnya membayar dam.
4. Ungkapan talak yang sharih (jelas). Orang yang mentalak atau mencerai istrinya dengan ungkapan yang jelas, seperti “kamu saya cerai,” atau “kamu saya talak,” maka secara otomatis cerainya sah walaupun tidak disertai dengan niat.
4. Syarat-syarat niat:
Niat hukumnya wajib, bahkan ia menjadi rukun pertama di sebagian besar amal ibadah. Agar niat menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi: 1. Islam. Niat adalah ibadah yang tempatnya di dalam hati, bila hati belum beriman kepada Allah maka niat yang muncul bukanlah sebuah ibadah. Oleh karena itu, orang yang tidak beriman tidak sah niatnya. 2. Tamyiz. Yakni berakal dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Oleh karena itu, orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz (belum bisa makan dan cebok sendiri), tidak dikatakan bisa berniat apalagi dihitung sah niatnya. 3. Tahu ibadah apa yang akan dilakukan. Karena niat adalah menyengaja suatu perbuatan, dalam konteks ini adalah menyengaja melakukan ibadah, bila seseorang tidak mengetahui ibadah yang akan dilakukannya atau tata cara pelaksanaannya, lalu bagaimana ia sanggup menyengaja suatu perbuatan yang ia tidak ketahui seperti apa perbuatan itu? Seseorang dinamakan sengaja bila ia sadar dan tahu apa yang dilakukannya. 4. Tidak melakukan hal-hal yang membatalkan niat. Semisal ragu untuk melanjutkan ibadah, atau berniat menghentikan ibadah, maka dengan munculnya hal itu otomatis niat menjadi batal. Karena, niat hanya bisa sah bila dilakukan dengan keyakinan penuh dan tidak ada hal yang kemudian membatalkannya.
5. Tempat berniat:
Niat tempatnya di dalam hati. Dalam perkara ibadah seperti bersuci, shalat, dan puasa, para Ulama menganjurkan agar niat diucapkan dengan lisan. Hal ini mengingat keadaan hati yang mudah lalai dan terdistraksi dengan hal-hal di luar ibadah. Oleh karena itu, dengan diucapkannya niat diharapkan dapat membantu hati lebih fokus untuk berniat. Baca Juga : Sedang Ada Keperluan, Bolehkah Menjamak Shalat? Niat sejatinya berada di dalam hati, maka sekedar mengucapkan niat dengan lisan tanpa kehadirannya di dalam hati adalah tidak sah. Bila apa yang dilafalkan dengan lisan berbeda dengan apa yang diniatkan dalam hati, maka yang dijadikan pegangan adalah apa yang muncul di dalam hati, sekali lagi ini berkaitan dengan ibadah, bukan hal lain semisal akad atau sumpah, karena dalam hal itu yang dijadikan dasar adalah ucapan, bukan niat dari ucapan.
6. Waktu niat:
Secara umum waktu wajibnya berniat adalah di awal ibadah, semisal saat membasuh wajah pada wudhu, atau saat takbiratul ihram pada shalat, namun ada sebagian ibadah yang boleh untuk mendahulukan waktu niat dari waktu awal perbuatannya, kebolehan ini sebagai bagian dari keringanan menjalankan agama, seperti niat puasa, akan sangat sulit membersamai masuknya waktu fajar dengan niat, maka niat boleh dilakukan sebelum masuk waktu fajar, begitu juga halnya dengan zakat dan berkurban.
7. Tata cara berniat:
Tatacara niat berbeda dari satu ibadah dengan ibadah yang lain. Dalam hal shalat misalnya, untuk niat fardhu zhuhur ada tiga hal yang harus diniatkan: 1. Perbuatannya, yaitu shalat. 2. Hukuk shalatnya, yaitu fardhu. 3. Jenis shalatnya, yaitu zhuhur. Belum lagi kalau dilakukan sebagai makmum, maka wajib niat sebagai makmum. Niat yang berbeda bila shalat yang dilakukan shalat dhuha misalnya, cukup berniat: 1. Perbuatannya, yaitu shalat. 2. Jenis shalatnya, yaitu dhuha. Bahkan bila shalat yang dilakukan adalah shalat sunnah mutlak, maka ia cukup berniat shalat saja. Wallahu A’lam (Fahmi Aziz Islam, Ibadah, Doa)
Disalin dari web Bersholawat.id dengan judul : https://bersholawat.id/7-hal-yang-orang-islam-harus-tahu-tentang-niat | bersholawat.id